
Saya mungkin bukan seseorang yang bisa menghakimi apa yang sekarang ini (atau mungkin sudah dari dulu) terjadi terhadap Indonesia, lagipula, saya hanyalah seorang mahasiswa tingkat akhir berumur 23 tahun yang sedang mengajukan topik tugas akhir yang nyatanya tidak memenuhi kehendak sang dosen (tapi apa boleh buat, saya hanya mengulang tugas akhir yang sebelumnya saya dinyatakan tidak lulus karena absen menghadiri hari sidang).
Saya selalu berpendapat bahwa Indonesia (yang sudah dinilai oleh dunia sebagai Negara ke-3, atau nama yang lebih dikenal “Third world country”) adalah Negara yang ‘pemalas’, ‘konsumsi yang berlebih’, ‘korupsi’, ‘apalah yang jelek-jelek’… atau bisa saja saya hanya bersikap pesimis terhadap Negara yang saya tinggali ini, tidak tanpa usaha, saya sudah mencoba segala cara untuk melihat sisi positif dan bersikap optimis, kosong, saya benar-benar kosong… tidak ada yang bisa saya lihat sisi positifnya (ada memang, seperti hasil alam Indonesia yang berlimpah, tapi kemudian saya berpikir lagi, hasilnya kemana? Saya tidak terlalu mengikuti politik yang berbelit-belit yang lebih banyak ditutupi), yang terlintar di benak saya hanyalah segi negatif dari Indonesia.
Saya memang tidak bisa dijadikan contoh sebagai ‘pencinta negara’, secara sehari-hari bahasa yang saya gunakan bercampur 70 % bahasa inggris (untuk juga bisa berbicara kepada keponakan saya yang dengan ultimatumnya TIDAK mau berbicara bahasa Indonesia dengan alasan ‘jelek’), sisanya 30% hanya saya gunakan dalam pergaulan sehari-hari dengan orang tua dan teman-teman. Menurut saya bahasa inggris sudah terlalu umum digunakan, seharusnya memang saya memiliki bahasa lain yang agak berbeda seperti Perancis atau Mandarin, tapi apa boleh buat lagi, mempelajari bahasa pada umur 23 tahun memang agak susah.
Selain itu, saya juga selalu beranggapan barang apa saja asal impor, memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan Indonesia (bahkan dari Negara Thailand sekalipun). Barang hasil produksi Indonesia yang saya miliki di kamar saya hanyalah furniture yang memang saya beli dengan alasan ‘harga’, selain itu, mungkin beberapa pakaian yang hanya saya gunakan di bawah atap rumah ini.
Salah satu segi negatif kecil yang sudah saya sadari sejak smp (mungkin) adalah penggunaan bahasa Indonesia yang (mungkin lagi, saya tidak bisa terlalu pasti; saya jarang membaca buku) hanya mengganti beberapa huruf dan jadilah bahasa Indonesia. Pemalas, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, malas membuat kata baru dan hanya meniru. Seperti contohnya ‘toilet/wc’ tetap saja toh bahasa Indonesianya ‘toilet/wc’, ‘sex’ menjadi ‘seks’, ‘penis’ tetap saja ‘penis’, ‘public’ menjadi ‘publik’, ‘fashion’ pengucapan sama penulisan berbeda ‘fesyen’, ‘name’ menjadi ‘nama’, dan banyak lagi (tidak akan saya jabarkan disini, saya bukan kamus). Ada lagi dalam bahasa Indonesia yang bisa saya kategorikan dalam ‘pemalas’, artinya berbeda, pengucapannya berbeda, penulisan sama! Contohnya ‘apel’ buah dan ‘apel’ dalam artian mengunjungi pacar, dan ‘tahu’ makanan dengan ‘tahu’ mengetahui/mengerti, dan mungkin masih banyak, tetapi, harap maklum, nilai bahasa Indonesia saya tidak terlalu menakjubkan semasa smp/sma.
Tetapi masalah bahasa, mungkin memang beberapa Negara merasa hal tersebut terlalu memakan waktu jika harus membuat kata baru, oleh karena itu mereka hanya menjiplak saja apa yang ada dan kemudian mengganti beberapa huruf, seperti ‘toilet’ dan ‘toilette’, ‘one, two, three’ dan seperti lagunya ricky martin ‘uno, dos, tres’, ‘luminous’ dan ‘lumierre’ dan lain lainnya (sekali lagi saya bukan ahli bahasa).
Yang saya kagumi adalah bangsa Cina, yang (menurut sejarah) merupakan bangsa yang pertama kali membuat huruf dan kemudian mencetaknya. Hurufnya pun berbeda-beda dan memiliki suku kata yang beragam dan (menurut teman saya) banyak sekali. Jepang dan Korea juga unik, tapi antara mereka berdua (yang memang rival sejati) pengucapannya agak mirip (dan kemudian bangsa Korea merubah bahasanya menjadi bahasa Korea modern yang sering kita dengar di film-film yang mengharu-biru khas Korea). Antara Korea jaman dahulu dan jepang mungkin saya tidak tahu siapa yang meniru siapa, tapi kemiripan huruf kanji Jepang dengan pinyin Cina, sudah jelas bangsa Cina yang memulainya (menurut beberapa Encarta).
Dalam hal bahasa juga dalam segala hal, Cina memang yang terbaik, bahkan dalam hal ‘pemalsuan’, produk yang dihasilkan benar-benar berkualitas. Label-label terkenal dari eropa, Perancis, Milan, New York, dan lain-lain, tetap saja ‘made in china’. Lihat saja Versace untuk second line-nya Jeans Couture dan Sport, semuanya made in china (mungkin untuk 1st line-nya ‘Gianni Versace’ made in Europe). Produk aslinya saja made in china, apalagi yang palsunya! Hampir semua tas tas bermerek ‘mangga dua’ dihasilkan oleh Negara itu (paling tidak semua yang memiliki embel-embel kelas 1), kualitas 99,99% seperti aslinya, kadang mungkin hanya berbeda baunya saja, yang satu memiliki bau parfum dari pegawai toko di Plaza Indonesia yang menggunakan seragam, satunya lagi bau nci-nci penjual tas palsu di mangga dua.
Setelah mengolok-olok Indonesia, saya tidak menjadi sedih karena tinggal di Negara ini. Indonesia-lah tempat saya lahir (apa boleh buat), pikiran tentang meninggalkan Indonesia dan merantau ke Negara-negara lain sempat terbesit dulu (bukannya terbesit lagi, sudah menggebu-gebu), tetapi karena hal finansial, jatuh-jatuhnya juga di Universitas Tarumanagara dengan jurusan Komunikasi Visual. Saya tidak menyesal (menyesalpun percuma), saya bisa bertemu dengan teman saya yang sangat dekat dan sangat mengenal saya, menikmati pergaulan ‘sesama’ di lingkup nasional, bisa mengenal dan mengetahui berbagai lapisan status sosial (dari yang makan indomie tiap malem, sampai ibu-ibu pejabat yang tiap hari harus memiliki sebuah tas keluaran desainer mancanegara). Selain itu semua, sering terdengar hal-hal seperti ‘home sick’ dan lain-lain dari mulut kakak-kakak saya (yang memang mengambil Uni di luar), pergaulan disana memang bebas, malah terlalu bebas, sehingga pelajaran banyak yang tertinggal, dan merembet ke hal-hal lainnya. Jadi saya tidak menyesal, di kekang oleh orang tua saya, toh sekarang mereka sudah mengerti dan tidak terlalu mengekang, mungkin masa remaja saya (pesta-pesta dan lainnya) sudah terlambat dibandingkan remaja lainnya yang pada umur 16 tahun saja sudah bisa pulang jam 4 pagi! Tetapi saya selalu mengganggap masa pesta-pesta memang seharusnya dimulai pada umur saya (23 tahun), agar jadinya kelak tidak terlalu liar dan dapat menahan diri (siapa saja yang beranggapan anak umur 16 tahun bisa menahan diri, tolong, hubungi saya!)
Lots of Love! (saya tidak bisa mengubah ini, ‘banyak cinta’ terdengar aneh!)
No comments:
Post a Comment